Sahabat Misterius


PAGI itu langit tak menentu. Kadang cerah menerangkan. Sesekali  mendung dipayung awan hitam pekat. Bila cuaca mendung ku kira hujan akan turun membasahi bumi yang gersang. Ternyata matahari kembali bersinar setelah dihalang gumpalan awan gelap. Belakangan ini perputaran musim di Aceh sulit ditebak. Aku merasa ada hal yang ganjil dengan alam Aceh. Seakan negeri para syuhada sedang menanggung beban kemurkaan sang Khaliq.

Orang-orang yang menghuni pusat kota mahasiswa mulai sepi. Darussalam memang dikenal kota pelajar. Di sana tempat merembuk ribuan mahasiswa dari pelosok tanah rencong. Dua kampus “Jantoeng hate rakyat Aceh” terlihat lengang. Hampir tak ada aktifitas di sudut kampus bergengsi itu. Dalam kalender akademik belum masuk fase libur. Aku merasa mahasiswa libur sebab akan ada pesta demokrasi pekan depan.

Hati kecilku sangat tidak senang dengan musim pemilu. Sebab keindahan jalan-jalan protokol terganggu dengan bendera partai dan atribut lainnya. Lapangan yang hijau muda dihias bak pelangi oleh tim kampanye. Tidak jarang sampah berserakan di pelataran lokasi orasi dan panggung umbar janji manis para kandidat. Konon katanya kegitan seperti ini mesti ada, sebab cara ampuh menyuntik rakyat agar terpaut dengan pasangan yang diusung. Aku terpaksa harus jatuh cinta pada pilkada.
Kabarnya menjelang matahari naik ayah akan menjemputku di Kuta Radja.
“Iya ayah”, jawabku pelan lewat telpon.
***
Aku menyibak gorden menatap keluar. Sosok pria yang ku banggakan telah tiba. Tanpa basa-basi ayah mengajakku.

“Kita harus segera pulang, keburu waktu”, ucap ayah seakan mendesak.

Kami meninggalkan kota Banda Aceh melaju arah Lhokseumawe. Hatiku dag dig dug. Hampir setengah tahun tidak pulang ke rumah dan bertemu teman-teman. Rasa rindu yang membara seakan tak mampu ku bendung. Buncahan kangen kolega masa kanak-kanak seolah akan menemukan obatnya.

Yang paling terbayang dibenakku detik ini adalah “asam keueng” masakan ibu. Terbesit di jawabku pesan ibu tempo dulu. “kamu seperti ayahmu, tak slera makan tanpa ditemani asam keueng”, ucap ibu suatu waktu ketika masih menga-ngan di kepalaku.

Sambil menikmati perjalanan yang lumayan jauh aku membaca buku “Aceh di Mata Dunia”. Baru kali ini aku menemukan buku beraroma sejarah Aceh dalam mobil ayah. Biasanya hanya ada tumpukan laporan kerja dan buku bernuansa aislami yang seakan ada pustaka mini dalam kendaraan pribadi ayah.
Cuaca yang tadi mendung kini bersinar binar. Tiba-tiba tiga mobil yang dihiasi warna salah satu partai di Aceh dengan foto pasangan pilkada di kaca belakangnya menerobos mobil kami. Lalu melaju kencang ke depan. Aku menoleh ke arah ayah. Ayah menyikapi santai sambil menggeleng kepala.

“Kalau musim pilkada begini memang sering mobil partai kebut-kebutan di jalan. Mereka kejar target untuk kampanye”, kata ayah bernada pelan.

Aku diam terpaku. Jantungku seakan lepas dari gagangnya saat disalip mobil partai penguasa itu. Suasana hening. Beberapa detik kemudian ayah melanjutkan.

“Sekarang politik di Aceh sudah tak stabil semenjak Mou Helsinki. Banyak nafsu yang ingin berkuasa. Merasakan uang manis. Tapi rakyat sering melarat.”

Aku tersenyum sinis. Baru pertama mendengar ayah berbicara politik. Biasanya ayah paling alergi isu politik. Hobi berkisah perjuangan Nabi dan shahabat dalam membumikan ajaran suci. Dan aku biasa membahas soal politik Aceh di warung kopi bersama teman kuliah. Mungkin karena mobil ayah sudah tak tahan dengan kondisi politik Aceh yang semakin buram.

Ayah menyambung cerita.

“Dahulu kakekmu adalah pejuang Aceh. Sebelum nama TII diganti menjadi GAM. Dia juga ikut telibat dalam politik Aceh. Ayah saja tak pernah menerima kasih sayangnya semasa kecil. Ketika umur ayah lima tahun barulah kakekmu turun dari gunung. Dengan rambutnya sepunggung dan jengotnya panjang memutih. Ia datang memeluk ayah. Kala itu kediaman kakekmu di kampung masih rumah panggung khas Aceh. Itulah pertama kali ayah berjumpa dengan kakek semenjak lahir ke dunia.”

Aku pernah mendengar cerita tentang kakek dari ayah ketika umurku masih 5 tahun. Tapi yang paling aku ingat adalah tentang padi-padi yang di hamburkan ke udara. Saat kakek dipergoki oleh TNI. Ayah memberitahuku.

“Dahulu sangat banyak orang cuak hanya karena rasa takut dan uang.”

Menurutku masa kini juga sama. Ayah memperjelas cerita.

“Pagi itu, ketika fajar telah merekah, kakek bersantai di dalam rumah panggung yang telah usang dimakan waktu. Dan ayah sedang bermain di halaman bersama teman-temannya. Dari jarak dekat terdengar suara mobil truck dari arah selatan. Ayah sudah tau bahwa itu truck aparat pengaman negara. Dengan rasa takut bergegas ayah memberitahu kakek agar bersembunyi.”

“Nenek yang sedang di dapur langsung bersembunyi dibalik cincin sumur. Sedangkan kakek bersembunyi di atas atap. Lalu tentara berseragam perang itu masuk rumah dan berteriak keras. Ayah dan teman-temannya dibarisi di halaman. Wajah ayah ketakutan saat itu. Bahkan perlahan air mata menetes membasahi pipi. Ayah kerap menyaksikan kakek di siksa di depan mata kepalanya sendiri. Sedang ayah masih kecil, tak bisa berbuat apa-apa kecuali do’a.”

“Kakek bersembunyi di atas atap. Di tangan kakek sudah digenggam padi yang diambil dari karung di sudut dapur. Mata kakek masih menyorot ke arah kiri kanan mencari tau keberadaan nenek.

“Dimana kau?.

“Keluar!”, seru aparat lantang.

“Loen hinoe!”, ucap kakek tak gentar.

Para tentara melirik ke atas mencari sumber suara sambil menodong senjata laras panjang. Lalu kakek menghamburkan padi yang digengam tadi. Sekejap, di dalam rumah panggung itu menjadi gelap gulita. Bahkan tentara yang bersiaga di halaman rumah juga kalang kabut. Ayah dan teman-teman yang tadi  menangis karena ketakutan,  kini merasa heran dengan prilaku tentara seolah orang gila.

“Lalu pasukan itu pergi meninggalkan kampung kita”, ucap ayah mengakhiri cerita.

Mobil terus bergerak menelusuri jalan lintas sumatera. Tiba-tiba bunyi klakson memekakkan telingaku dari arah belakang. Ayah sedikit menepi memberi ruang jalan agar mereka bisa lewat. Mobil avanza putih melaju cepat di tikungan Seulawah. Suasana mulai kondusif. Pandangan ayah menerawang jalan. Aku memainkan smartphone mencari kabar terkini. Bibir ayah terlihat komat kamit.

“Semasa ayah punya enam sahabat dekat. Mereka punya mimpi besar untuk memimpin Aceh dengan penuh keadilan. Tapi semenjak hari itu mereka menghilang entah kemana.”

Aku tercengang, ini cerita langka yang aku dengar dari ayah. Ternyata, ayah yang pendiam memiliki kisah persahabatan yang misterius.

“Kenapa ayah tidak mencari saja mereka?”, tanyaku heran.

“Percuma!, mungkin mereka telah tiada”, respon ayah sedih. Riak wajahnya menjuntai pilu.

“Siapa nama ke-enam sahabat ayah itu?”, tanyaku enggan.

Bunyi klakson menembus telinga kami. Ayah membelokan mobil sedikit ke kiri sembari melihat ke kaca spion. Mobil Jazz berwarna silver melaju cepat di tikungan Seunapet. Aku masih menunggu jawaban dari ayah. Namun ia hanya menoleh ke arahku sembari melempar senyuman. Seketika mobil avanza hitam mencoba memotong mobil truck berbadan besar. Aku menoleh ke depan dan berteriak, “Awas!”.
Ayah memecahkan senyumnya “Aaaaaa” . Barrrrrrhhhh…!. Perlahan-lahan aku membuka mata. Tangan kananku terasa sakit. Pipiku menyemburkan darah. Aku melihat ke arah ayah. Dari luar terdengar suara keluhan.

“Ka tulong!…bagah!”, lirih ayah kesakitan.
***
Kecelakaan itu membuat kaki kiri ayah patah. Aku menanggung luka parah di tangan dan dahi. Aku masih penasaran dengan sahabat ayah. Ia selalu diam jika aku tanyakan tentang keenam rekannya. Mungkin ayah ingin melupakan mereka atau menganggap mereka telah tiada.

Dua minggu setelah kecelakaan, aku dan ayah pergi ke perkampungan. Desa yang masih segar dengan dedaunan pohon rindang. Suhu masih terjaga nan segar. Kata ayah di sana ada orang yang bisa pijat tulang patah. Juga sambil menjeguk keluarga ayah. Di desa adem itu ada makam kakek, tepatnya di halaman rumah kakek dan nenek tinggal dulu. Tiba-tiba ayah menyuruhku membersihkan makam tua itu. Ketika aku mencabut satu per satu rumput di samping kuburan yang dihiasi keramik giok, terlihat tulisan kecil di kaki makam.

‘Makam Enam Sahabatku’.

“Di sinilah jasad enam teman yang dibunuh sadis dan dikubur masal”, ucap ayah. Air matanya bercucuran jatuh tepat di bagian tanah kepala mayat. Aku mendengar desahan ayah dan panjatan do’a untuk keenam rekannya.

Hatiku membatin. Nafasku sesak. Ternyata kampung ayah penuh dengan sejarah pilu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasakan Ruang dalam Museum Tsunami

Jam Beker Daud