Jerawat di Wajah Jeumala



Jeumala begitu membenci jerawat yang tumbuh di keningnya, dekat dengan alis kirinya. Jerawat itu begitu besar, seperti bisul. Ia heran bagaimana jerawat itu bisa tumbuh. Padahal belakangan ini, Jeumala jarang makan kacang atau makan berlemak tinggi. Kata orang begitu. Ibunya bilang, bahwa ada yang diam-diam mencintainya. Hah, ia tambah heran bagaimana mungkin wanita kulit hitam dan gendut jatuh cinta padanya.

Ingin sekali ia menghancurkannya. Tapi Jeumala tak kuat menahan rasa sakitnya. Ia menanyakan kepada Maimunah, wanita di desanya yang banyak jerawat di wajahnya, namun kini sudah hilang.

“Aku dulu pakai daun sirih. Petik beberapa daun sirih yang di pucuk, hancurkan lalu letakkan di jerawatmu. Tunggu kering, cuci. Begitu terus sampai hilang,” perintah Maimunah.

Selama seminggu Jeumala menaruknya. Namun tidak ada perkembangan. Malah bertambah satu jerawat lagi di pipi kanannya. Ah, ia begitu benci jerawat. Lagi-lagi merenungkan makanan lemak apa yang telah ia makan. Sekali-kali ia teringat kata ibunya, bahwa ada yang diam-diam jatuh cinta padanya. “Tidak mungkin!”

***
          Seminggu kemudian, ia melamun di bawah pohon mangga di depan rumahnya. Pohon mangga itu lebat dengan buahnya. Seketika lamunan buyar, saat ada mangga jatuh. Jeumala mengambilnya dan langsung memakannya. Sambil melahap mangga ia kembali melamun, bagaimana jerawat bisa tumbuh di wajahnya. Betapa selama ini ia menghindarinya.

Jeumala menyerah. Menyerah dengan kata ibunya. Bahwa ada yang diam-diam jatuh cinta padanya. Tidak ada salahnya, ia percaya kepada ibunya, bukankah nasehat ibu itu baik dan harus didengar?. Maka ia mulai berfikir dalam, mencari-cari laki-laki mana yang diam-diam mencintainya. “Dasar bencong, hanya berani mengirim jerawat padaku!”

           Maka Jeumala begitu semangat sekolah dan mengaji. Dia ingin mencari tau siapa yang mengirim jerawat ke wajahnya yang ia akui jelek. Pagi itu, tanpa sarapan ia langsung mengayuh sepedanya. Melewati jalan yang di kelilingi persawahan. Seketika ia berhenti di jembatan. Di bawahnya dialiri air irigasi yang begitu jernih. Embun-embun begitu cantik di rumputan, ia membasuh rumputan itu. Eummm..ia hirup aroma pagi itu. Setiap pagi ia begitu. Baginya tak ada yang lebih indah selain kampungnya.

          Jeumala sadar, masih ada misi yang harus ia selesaikan. Hanya ada Jeumala di sekolah pagi itu. Hanya ada Pak Ariadi di halaman sekolah, tukang sapu sekolah yang di bawa kepala sekolah ke kampung ini dari jawa. Kabarnya,orang jawa rajin bekerja. Kabar itu kemudian dituruti kepala sekolah Jeumala. Tukang sapu sebelumnya malas, dan anak-anak mengikuti upacara selalu dengan keadaan halaman sekolah kotor.

          Di kelas. Jeumala mulai menerka-nerka siapa laki-laki yang mengirim jerawat kepadanya. Ia sangat yakin, pasti laki-laki itu satu kelas dengannya. Tak mungkin dari kelas lain. Karena ia sangat yakin, tak ada laki-laki yang suka wanita gendut, berkulit hitam sepertinya.

          Satu-satu persatu siswa lain mulai datang. Jeumala bersikap biasa saja. Ia tidak menceritakanya kepada siapa pun, termasuk Farah teman sebangkunya. Perlahan-lahan ia mulai meneliti siapa laki-laki itu. Hingga akhirnya buk guru datang.

          Di sinilah waktunya beraksi. Berdasarkan teori yang sering ia lihat dari televisi, laki-laki suka memandang wanita yang ia sukai saat guru sedang menjelaskan. Jeumala yang biasanya selalu menyimak guru, kini ia tidak fokus lagi. Terus ia memerhatikan laki-laki di kelas. Jeumala melirik ke kanan-kiri. Tapi tak ada satupun laki-laki yang memandangnya. Hingga akhirnya guru bertanya padanya.

          “Jeumala siapa mentri keuangan saat ini?”

          “Laki-laki buk!”. Maka satu kelas tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Jeumala.

          Jeumala pulang sekolah dengan keadaan yang memalukan. Ia benci hari ini, hari yang buruk sepanjang hidupnya. Ia benci jerawat. Ia benci laki-laki yang mengirim jerawat ke wajahnya. Siang yang panas di kampungnya, ia duduk di bawah pohon mangga di depan rumahnya. Merenung lebih dalam, tentang kejadian memalukan tadi di kelas. Sekali-kali ia memaki jerawatnya. Tapi ia tidak menjepitnya sama sekali. Karena pesan ibunya jangan sentuh jerawat nanti tambah besar. Ah, ia marah dan melempar batu ke pagar bambu rumahnya.

          Ibunya menghampirinya sambil membawa mangga hasil pohon yang sedang ia duduk di bawahnya. Jeumala memakannya dengan lahap dan terus merenung tentang jerawatnya. Matahari yang begitu terik membuat tubuhnya semakin panas kemudian memilih untuk  masuk kamar dan tidur siang.

          Senja begitu indah sore itu. Jeumala melihat senja dari celah-celah dedaunan pohon mangga itu dengan takjub. Senja sore itu juga menemaninya pergi mengaji. Jeumala terus bertanya pada senja. Apakah laki-laki itu teman mengajinya?. Ia begitu bersemangat. Tapi tanpa ia sadari ada jerawat kecil yang tumbuh di dagunya.

          Tiba di bale. Ia mulai memerhatikan satu persatu laki-laki yang hadir. Tidak ada yang mencurigakan. Seperti di sekolah, saat Tgk Mail sedang menjelaskan ia mulai memerhatikan laki-laki yang ada di bale saat itu. Waktu telah berjalan setengah jam, namun tak ada tanda-tanda. Tak ada laki-laki yang mencurigakan. Hingga waktu insya tiba, Tgk mail menyuruh santrinya untuk berwudu’ untuk salat insya. Dan jeumala sadar saat itu, bahwa ada jerawat kecil yang tumbuh di dagunya. Ia semakin marah.

          “Ibu jerawatku semakin banyak!” teriak Jeumala saat pulang ke rumah. Ibunya hanya tersenyum tak berkata. Jeumala langsung menuju kamar dan tidur. Dalam doanya malam itu, ia berharap besok ia segera tau siapa laki-laki yang mengirim jerawat ke wajah yang hitam.
     
          Pagi-pagi sekali ia sudah ada di sekolahnya. Sendiri di kelas. Sekali-kali ia memperhatikan jerawat-jerawat di wajahnya mengunakan cermin. Ia kembali emosi dengan jerawat-jerawat itu. “Kali ini harus dapat,” ungkapnya dalam hati. Dia masih mengunakan tak-tik yang sama. Jeumala mulai melirik kanan-kiri saat guru menerangkan. Lagi-lagi tidak ada yang dicurigakan. Semua laki-laki di kelas itu biasa saja. Hingga jam belajar berakhir pencariannya tidak membuahkan hasil.



          Lonceng berbunyi, tanda jam istirahat. Semua siswa berhamburan memadati kantin. Tidak dengan Jeumala, dia duduk di depan kelas sambil menyesali jerawat di wajahnya. Dia tidak mau makan jajanan, mengandung lemak. Ia takut jerawat tumbuh banyak di wajahnya. Beberapa siswa melewatinya dan tersenyum kepadanya.

          Tiba-tiba dia merasa ada yang memerhatikannya dari bangku taman sekolah.
Itu abang kelasnya, bang Rafi. Belakangan ini memang bang Rafi terlihat ramah kepadanya. Saat di kantin bang Rafi tersenyum kepadanya. Bang Rafi tampangnya juga tidak ganteng, biasa-biasa saja. Tapi apa mungin bang Rafi yang mengirimkan jerawat-jerawat ke wajahnya?. Jeumala berpikir ini tidak mungkin. Masih banyak kakak kelasnya cantik. Sementara ia gendut dan berkulit putih.

          Jeumala mencari cara untuk memastikannya. Mulailah ia melihat ke atas pohon asam di tengah-tengah taman sekolah, sekali-kali ia lirik ke bang Rafi. Dan bang Rafi terus menatapnya ketika ia melirik ke atasnya. Maka Jeumala mulai yakin bahwa bang Rafi yang selama ini mengirim jerawat-jerawat ke wajahnya. Saat  itu pun ia menghampiri bang Rafi untuk meminta pertanggung jawaban.

          “Bang apa lihat saya terus!,” bentaknya. Dan bang Rafi kaget hanya diam lalu tersenyum. Sementara siswa di dekat bangku itu mulai menghampiri satu persatu.

          Jeumala melanjutkan, “Abang kan yang mengirim jerawat-jerawat di wajah saya ini. Abang jatuh cintakan sama saya?,” bentaknya lagi.


          “Haha..saya justru heran kenapa wajah kamu berjerawat seperti itu. Udah hitam berjerawat lagi,” jawab bang Rafi dengan canda.

          Namun itu bukan candaan bagi Jeumala. Baginya itu sebuah hinaan di depan teman-temanya dan beberapa siswa di dekat bangku itu. Ia begitu malu. Lebih malu dari kasus menteri perikanan.

***
          Jeumala pulang dengan rasa malunya. Meskipun langit cerah siang itu tapi hatinya mendung. Ia hanya bisa berdiam diri di kamar. Saat waktu asar tiba, setelah salat ia langsung menuju ruang tamu. Menonton di sana, mencari hiburan. Sambil menglahap mangga di depan rumahnya yang telah dikupas ibunya.

          “Ternyata mengkosumsi buah-buahan yang manis secara berlebihan juga dapat menumbuhkan jerawat, berikut kami tampilkan jenis-jenis buah-buahan yang dapat mengakibatkan jerawat pada wajah anda; semangka, nanas, jeruk, pisang, dan mangga,” suara presenter acara di televesi yang sedang ditonton Jeumala.

          Seketika ia kaget saat mendengar kata mangga. Ia sedang melahap mangga yang manis dari pohon di depan rumahnya. “Ibu..!,” teriaknya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merasakan Ruang dalam Museum Tsunami

Suara Kreatif dari Kampung

Sehari bersama Gajah Sumatera