Pesan Suku Mante kepada Rakyat Aceh
"Aaaaaaaa..!.” sebuah terikan yang terdengar dari
panggung utama Piasan seni 2017. Semua orang di sekitaran stand-stand berkumpul
di depan panggung utama. Aku yang sedang membaca buku Laskar Pelangi karya
Andre Hirata di stand Forum Lingkar Pena, tersentak kaget. Suasana hening
sejenak, hanya lampu sorot dari panggung utama yang sekali-kali menganggu
mataku.
"Aaaaaa...!” suara itu terdengar lebih keras
kali ini. Aku memberi tanda baca pada buku Laskar Pelangi. lalu bergegas
menuju panggung utama. Di atas panggung aku melihat, orang kecil (seperti
kurcaci) yang di penuhi daun-daun dan wajahnya bergaris-garis putih, terlihat
seperti orang papua atau manusia pada zaman dahulu kala.
Aku berdiri tepat di depan panggung. Orang kecil
itu masih ditengah panggung dan diam melihat kanan-kiri, sekali-kali ke atas.
Orang-orang semakin penasaran siapa yang diatas panggung?, manusia pada zaman
dahulu atau hanya sekedar seni yang di tampilkan?. Dia mengeluarkan suara entah
berantah (yang hanya dia yang tau maknanya). Aku semakin binggung. Aku ambil
kamera yang ada di tas samping yang sedikit sudah kusang. Lalu aku jepretkan ke
atas muka orang itu.
“Akulah mante!” teriaknya keras. Aku dan semua
orang tersentak kaget dan bingung. Di layar monitor barulah keluar sedikit
penjelasan; teater monolog: ‘aku mante’, oleh Djamal Syarief. Saat itulah saya
baru ngeh, ternyata orang yang di panggung itu, layaknya manusia pada zaman
modern ini yang ingin menampilkan seni. Namun, beberapa anak kecil masih ada
yang binggung, bertanya sana-sini.
Sementara di pangung, Djamal Syarief
melanjutkan Monolognya, seakan-akan dialah perwakilan suku mante untuk
menyampaikan pesan kepada rakyat Aceh:
“....uuuuuuuk mante adalah sebuah peradaban yang
terputus, mante adalah sebuah kisah yang perlu kita catat.
Uuuuuk mante adalah sebuah kisah, peradaban
yang terputus dari zaman primitif dan modern.
Hoho..ho..hooouh sekali lagi aku berpesan
janganlah mencari mante, mante bukanlah binatang yang harus diburu.
Bukanlah hewan buas yang harus kalian basmi,
mante adalah peradaban yang penuh kebiadaban, heii...heii.
Mante perlu kalian tulis dalam sejarah-sejarah
panjang, bahwa kita memang pernah hidup bersama. Kita pernah hidup bersama!
Leluhur kita pernah mengakui kami sebagai
mante. Leluhurku berpesan jangan sekali-kali kalian tebang pohon di hutan,
karena itu adalah rumah kami.
Dan baru ini kami mendengar penguasa kalian
merebut lahan, di hutan!. Kami ada di kaki gunung lauser, kami ada di anatara
ulu masen, kami ada di pelosok yang tidak pernah kalian sentuh.
Mante adalah kalian, mante adalah kita, mante
adalah peradaban yang terputus...”
Tepuk tangan yang bergemuruh di berikan kepada
Djamal setelah dia mengucapkan salam dan turun dari panggung. apa yang di
tampilkan Djamal adalah sebuah seni yang harus kita beri harga mahal. Saya yakin
dia harus melakukan riset yang sangat dalam, ketika menulis naskah monolog
tersebut.
Setidaknya, penampilan Djamal mampu memberi
jawaban kepada saya, bahwa suku mante itu benar-benar ada. Memang, seni selalu
memberi hal yang berbeda.
Komentar
Posting Komentar